“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, maka Allah menyediakan untuk mereka pengampunan dan pahala yang agung” (QS. Al Ahzaab: 35).“Aku (Alloh) terserah persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya (memberi rahmat dan membelanya) bila dia menyebut nama-Ku. Bila dia menyebut nama-Ku dalam dirinya, aku menyebut namanya pada diri-Ku. Bila dia menyebut nama-Ku dalam perkumpulan orang banyak, Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih banyak dari mereka. Bila dia mendekat kepada-Ku sejengkal (dengan melakukan amal shaleh atau berkata baik), maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila dia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat (lari)”.HR. Bukhari: 8/171 dan Muslim: 4/2061, lafadz hadits ini dalam shahih Bukhari,“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran, akan mendapatkan satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan akan dilipatkan sepuluh semisalnya. Aku tidak berkata: Alif Laaam Miim, satu huruf. Akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf ”.HR.Tirmidzi 5/458, lihat Shahih Tirmidzi 3/9 Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu Agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhoi Islam itu jadi Agama Bagimu (Al Maidah: ayat 3)
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu Agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhoi Islam itu jadi Agama Bagimu (Al Maidah: ayat 3)

Lelaki Ditolak Lamarannya Karena Miskin

Minggu, 03 Maret 2013 · 0 komentar

Video Konsultasi Agama Islam: Lelaki yang Ditolak Lamarannya Karena Miskin [Tanya Jawab Bersama Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
READ MORE - Lelaki Ditolak Lamarannya Karena Miskin

Hukum Qunut Shubuh

Senin, 04 Juli 2011 · 0 komentar

Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur'an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid'ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ

"Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak". Dan dalam riwayat Muslim : "Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak".

Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.

Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.

Uraian Pendapat Para Ulama

Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.

Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi'iy.

Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.

Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa'd, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.

Dalil Pendapat Pertama

Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

"Terus-menerus Rasulullah shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia".

Dikeluarkan oleh 'Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba'in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-'Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama' wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.

Semuanya dari jalan Abu Ja'far Ar-Rozy dari Ar-Robi' bin Anas dari Anas bin Malik.

Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin 'Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : "Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i' bin Anas adalah Abu Ja'far 'Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)". Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : "Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)". Berkata Abu Zur'ah : " Yahimu katsiran (Banyak salahnya)". Berkata Al-Fallas : "Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)". Dan berkata Ibnu Hibban : "Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar"."

Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma'ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ar-Rozy, beliau berkata : "Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja'far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya".

Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja'far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja'far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : "Shoduqun sayi`ul hifzh khususon 'anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).

Maka Abu Ja'far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.

Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :

Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ

"Sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo'a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo'a (kejelekan atas suatu kaum)" . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.

Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja'far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ

"Sesungguhnya Nabi shollahu 'alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh".

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.

emudian sebagian para 'ulama syafi'iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :

Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :

قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ

"Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, dan saya (rawi) menyangka "dan keempat" sampai saya berpisah denga mereka".

Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :

Pertama : 'Amru bin 'Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan 'Amru bin 'Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu'tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).

Kedua : Isma'il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma'il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.

Catatan :

Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja'far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami 'Abdul Warits bin Sa'id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ

"Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau".

Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja'far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I'tidal 1/418. Karena 'Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari 'Amru bin 'Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu 'Umar Al Haudhy dan Abu Ma'mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari 'Abdul Warits-.

Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ

"Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang 'umar lalu beliau qunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau qunut".

Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja'far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : "Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma'in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma' in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.

Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya "Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia", itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah "beliau (nabi) 'alaihis Salam qunut", dan ini adalah perkara yang ma'ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)".

Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin 'Abdillah dari Anas bin Malik :

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ

"Terus-menerus Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal".

Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695.

Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin 'Abdillah, kata Ibnu 'Ady : "Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)". Dan berkata Ibnu Hibba n : "Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya".

Kesimpulan pendapat pertama:

Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.

Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.

1) Doa

2) Khusyu'

3) Ibadah

4) Taat

5) Menjalankan ketaatan.

6) Penetapan ibadah kepada Allah

7) Diam

8) Shalat

9) Berdiri

10) Lamanya berdiri

11) Terus menerus dalam ketaatan

Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur'an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.

Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.

Dalil Pendapat Kedua

Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))

"Adalah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I'tidal) berkata : "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakw an dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim". (HSR.Bukhary-Muslim)

Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :

Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.

Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :

وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.

Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir".

Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah .

Dalil Pendapat Ketiga

Satu : Hadits Sa'ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja'i

قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".

"Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu 'anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.

Dua : Hadits Ibnu 'Umar

عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".

" Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu 'Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku". Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma' Az-Zawa'id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :"rawi-rawinya tsiqoh".

Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.

Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu 'Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah".

Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari'atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :

1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.

2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.

Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do'a qunut "Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.

Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma'ad.

Kesimpulan

Jelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid'ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a'lam.

Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al Qurthuby 4/200-201, Al Mughny 2/575-576, Al-Inshof 2/173, Syarh Ma'any Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshoh 1/323, Al-Majmu' 3/483-485, Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi' : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 (Cet. Darul Kalim Ath Thoyyib), Majm u' Al Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma'ad 1/271-285.
READ MORE - Hukum Qunut Shubuh

Neraka Surga Apakah Kekal

Minggu, 03 Juli 2011 · 0 komentar

Surga dan Neraka Kekal

Firman Allah swt :

فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُواْ فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاء رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ

وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُواْ فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاء رَبُّكَ عَطَاء غَيْرَ مَجْذُوذٍ

Artinya : “Adapun orang-orang yang celaka, Maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Huud : 106 – 108)

“Selama ada langit dan bumi” adh Dhahak mengatakan,”Selama langit surga dan neraka serta bumi keduanya (surga dan neraka). Dan setiap yang berada diatasmu dan melindungimu adalah langit sedangkan setiap yang menjadi pijakan kakimu adalah bumi.
Para ahli makna mengatakan bahwa kalimat ini adalah perumpamaan terhadap “selamanya” yang digunakan oleh orang Arab. Mereka mengatakan : “Saya tidak akan mendatangimu selama langit dan bumi, dan dia tidak akan terjadi ini selama pergantian malam dan siang, artinya adalah abadi.

Sedangkan terhadap firman Allah “kecuali jika Tuhanmu menghendaki” telah terdapat perselisihan tentang makna dua buah perumpamaan ini. Sebagian mereka mengatakan bahwa perumpamaan pada “orang-orang yang celaka” ditujukan kepada suatu kaum dari orang-orang beriman yang dimasukkan Allah ke neraka dikarenakan dosa-dosa yang dilakukannya kemudian Allah swt mengeluarkan mereka darinya sehingga ia merupakan pengecualian selain jenis, karena mereka yang telah dikeluarkan itu adalah orang-orang yang bahagia yang telah dikecualikan Allah dari kelompok orang-orang celaka.

Sebagaimana riwayat dari Anas ra bahwa Nabi saw bersabda,”Akan tertimpa suatu kaum dengan api dari neraka dikarenakan dosa-dosa yang dilakukannya sebagai sangsi (baginya) kemudian Allah masukkan mereka ke surga dengan karunia rahmat-Nya, dan merekalah yang disebut dengan “al Jahannamiyun” Juga yang diriwayatkan dari ‘Imron bin Hushoin dari Nabi saw bersabda,”Kelak akan dikeluarkan suatu kaum dari neraka denan syafaat Muhammad yang kemudian mereka dimasukkan ke surga dan mereka dinamakan “al Jahannamiyin”

Adapun kalimat pengecualian pada “orang-orang yang bahagia” ditujukan kepada lamanya mereka mendiami neraka sebelum dimasukkan ke surga.

Ada yang mengatakan : “Kecuali jika Tuhanmu menghendaki dari kedua golongan itu dengan memanjangkan usia mereka di dunia dan menahan mereka di barzakh antara fase kematian dan kebangkitan sebelum mereka dikembalikan ke surga atau neraka, yaitu mereka kekal didalam surga atau neraka kecuali sebatas masa itu.

Ada yang mengatakan,”Kecuali jika Tuhanmu menghendaki” maknanya adalah mereka kekal didalamnya selama ada langit dan bumi kecuali jika Tuhanmu menghendaki”. Dan termasuk (kalimat) tambahan adalah “sepanjang kekekalan langit dan bumi” sehingga maknanya adalah ‘kekal didalamnya’, sebagaimana apabila kamu mengatakan,’Uang fulan ada padaku seribu kecuali dua ribu’ artinya ‘kecuali dua ribu yang telah diberikan.’

Ada yang mengatakan bahwa ‘kecuali’ bermakna ‘dan’, yaitu sungguh Tuhanmu telah menghendaki kekalnya mereka di neraka dan mereka di surga, sebagaimana firman-Nya :

لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنْهُمْ


Artinya : “Agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqoroh : 150)

Ada yang mengatakan,”Maknanya adalah seandainya Tuhanmu menghendaki pasti Dia mengeluarkan mereka darinya akan tetapi Dia tidak menghendaki kekakalan bagi mereka.

Al Farro mengatakan,”Pengecualian ini adalah pengecualian Allah yang tidak Dia lakukan, sebagaimana perkataanmu,’Demi Allah aku pasti memukulmu kecuali aku berfikir selain hal itu dan keinginanmu untuk memukulnya.” (Tafsir Al Baghowi juz IV hal 200 – 201)

Tentang kekekalan (keabadian) surga dan neraka ini juga diungkapkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa para ulama salaf dan imam umat serta seluruh ahlus sunnah wal jama’ah telah bersepakat bahwa diantara makhluk yang tidak hilang dan tidak lenyap keseluruhan seperti surga, neraka, arsy dan lainnya.

Tidaklah yang mengatakan kefanaan semua makhluk kecuali sekelompok ahli kalam pembuat bid’ah, seperti Jahm bin Shafwan serta orang-orang Mu’tazilah, dan perkataan ini tidak benar, bertentangan dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya serta ijma para salaf dan imam umat ini, sebagaimana hal itu ditunjukkan dengan kekekalan surga serta penduduknya dan kekekalan yang lainnya.. (Majmu’ al Fatawa juz XVIII hal 3)

Imam ath Thahawi didalam menjelaskan firman Allah :

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ


Artinya : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS. Al Qashash : 88)

Maksudnya adalah “Tiap-tiap sesuatu dari apa yang telah ditetapkan Allah atasnya untuk fana (lenyap) maka ia akan binasa” sedangkan surga dan neraka diciptakan untuk kekal (abadi) dan tidak lenyap, demikian pula arsy karena ia adalah langit dari surga.

Adakah Kehidupan Setelah Akherat

Firman Allah swt :

قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَى خُرُوجٍ مِّن سَبِيلٍ

Artinya : “Mereka menjawab: "Ya Tuhan Kami Engkau telah mematikan Kami dua kali dan telah menghidupkan Kami dua kali (pula), lalu Kami mengakui dosa-dosa kami. Maka Adakah sesuatu jalan (bagi Kami) untuk keluar (dari neraka)?" (QS. Ghofir : 11)

Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa disebutkannya dua kali di dua tempat sebagai sifat untuk kata dasar yang dihilangkan, yaitu : “Engkau matikan kami dengan kematian dua kali dan Engkau hidupkan kami dengan kehidupan dua kali”

Maksud dari dua kali kematian adalah bahwa mereka dahulu sebagai nuthfah yang tidak ada kehidupan bagi mereka didalam sulbi bapak-bapak mereka kemudian Dia swt mematikan mereka setelah mereka hidup di dunia. Sedangkan dua kali kehidupan maksudnya bahwa Dia swt menghidupkan mereka dengan kehidupan pertama di dunia kemudian Dia swt menghidupkan mereka saat kebangkitan, seperti firman-Nya :

وَكُنتُمْ أَمْوَاتاً فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ


Artinya : “Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali.” (QS. Al Baqoroh : 28)

Ada yang mengatakan bahwa arti dari ayat itu adalah mereka dimatikan di dunia pada saat selesai ajal mereka kemudian Allah menghidupkan mereka di kubur-kubur mereka saat ditanya (malaikat) kemudian dimatikan kemudian Allah menghidupkan mereka di akherat. (Fathul Qodir juz VI hal 313)

Dengan demikian bahwa kehidupan terkahir adalah kehidupan di akherat, manusia tidak dimatikan lagi di sini untuk kemudian dihidupkan kembali didalam suatu kehidupan yang baru, sebagaimana ditegaskan didalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila penduduk surga sudah dimasukkan ke surga dan penduduk neraka telah dimasukkan ke neraka maka didatangkanlah kematian dan diletakkan diantara surga dan neraka lalu (kematian) itu disembelih kemudian ada yang menyeru dengan seruan,’Wahai penduduk surga kalian tidak akan mati, wahai penduduk neraka kalian tidak akan mati.’ maka bertambahlah bagi penduduk surga satu kebahagian dari berbagai kebahagian mereka dan bertambahlah bagi penduduk neraka satu kesedihan dari kesedihan mereka.” (HR. Bukhori)

Wallahu A’lam
READ MORE - Neraka Surga Apakah Kekal

Permasalahan : Orang Yang Menikah Dengan Niat Akan Menceraikan

Jumat, 01 Oktober 2010 · 0 komentar

PERMASALAHAN : ORANG YANG MENIKAH DENGAN NIAT AKAN MENCERAIKAN.

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: "Jika seseorang berniat menikahinya hingga waktu tertentu kemudian menceraikannya; semisal musafir yang bepergian ke suatu negeri untuk ber-mukim di sana sekian waktu lalu dia menikah dengan niat jika dia telah kembali ke tanah airnya, maka dia akan menceraikannya; tetapi akad nikahnya adalah akad mutlak, maka mengenai hal ini terdapat tiga pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Ada yang berpendapat: "Ini adalah nikah yang dibolehkan, dan ini pendapat jumhur".
Ada yang berpendapat: "Ini adalah nikah tahlil yang tidak dibolehkan."
Pendapat ini juga diriwayatkan dari al-Auza'i.
Ada yang berpendapat: "Ini adalah makruh, bukan diharamkan".

Yang benar bahwa ini bukan termasuk nikah mut'ah dan tidak diharamkan. Sebab, dia berniat menikah dan menyukainya, berbeda dengan muhallil; tetapi dia tidak menghendaki wanita tersebut terus menyertainya. Dan ini bukan syarat; sebab wanita terus menyertainya bukanlah suatu kewajiban, bahkan dia berhak untuk menceraikannya. Jika seseorang berniat menceraikannya setelah beberapa waktu, maka dia meniatkan perkara yang diperbolehkan; berbeda dengan nikah mut'ah, seperti sewa yang berakhir dengan habis masanya, dan dia tidak mempunyai kuasa atasnya setelah waktunya habis. Adapun ini (yang sebelumnya) maka kepemilikannya adalah tetap dan mutlak, dan mungkin niatnya berubah lalu mempertahankannya selamanya, dan itu boleh baginya. Demikian pula seandainya dia menikahi wanita dengan niat mem-pertahankannya selamanya, kemudian dia ingin menceraikannya, maka itu boleh dilakukan. Seandainya dia menikahinya dengan niat jika wanita yang dinikahi mengagumkannya, maka dia mempertahankannya dan jika tidak, dia menceraikannya, maka ini diperbolehkan. Tetapi hal ini tidak disyaratkan dalam akad, tapi seandainya disyaratkan agar mempertahankannya dengan ma'ruf atau menceraikannya dengan ma'ruf, maka ini adalah konsekuensi akad menurut syari'at, dan ini syarat yang sah menurut jumhur, dan menetapinya adalah konsekuensi syari'at. Seperti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mensyaratkan dalam akad jual beli:

"Jual beli seorang muslim dengan muslim lainnya, tidak boleh ada cacat, tidak ada kerusakan, dan tidak ada yang disembunyikan". [1]

Ini adalah konsekuensi akad. Al-Hasan bin 'Ali sering bercerai. Mungkin, kebanyakan wanita yang dinikahinya dia niatkan untuk menceraikannya setelah beberapa waktu, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa itu adalah nikah mut'ah. Ini pun (menikah dengan niat menceraikan.-ed.) tidak berniat menceraikannya hingga waktu tertentu; tetapi ketika tujuannya berakhir darinya dan dari negeri yang ditempatinya. Seandainya dia meniatkannya dalam waktu tertentu, maka boleh jadi niatnya akan berubah. Tidak ada dalam hal ini sesuatu yang mengharuskan untuk membatasi masa pernikahan, dan menjadikannya seperti akad kerja. Keinginan menceraikan -seandainya ditetapkan setelah akad nikah- tidaklah membatalkannya, dan hidup serumah bersama wanita tersebut tidak makruh, meskipun dia berniat menceraikannya, tanpa ada perselisihan tentang hal ini sepanjang yang saya ketahui..."

Syaikhul Islam melanjutkan: "Salah satu kelaziman pernikahan bahwa laki-laki mempunyai wewenang untuk menceraikan, jika berkeinginan. Ia tidak berniat kecuali terhadap apa yang menjadi haknya sebagai konsekuensi akad. Hal ini sebagaimana jika dia berniat untuk menceraikannya, jika isteri berbuat dosa, atau jika keuangannya menipis, dan sejenisnya. Niatnya untuk menceraikannya, ketika dia bepergian (atau kembali) kepada keluarganya, isterinya yang (selama ini) tidak ada (bersamanya) sudah datang, atau hajatnya selesai, termasuk dalam masalah ini".

Zaid (bin Haritsah) pernah berniat menceraikan isterinya, dan dengan niat itu tidak membuat isterinya keluar dari kedudukannya sebagai isteri. Bahkan ia tetap menjadi isterinya hingga dia benar-benar menceraikannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

"Bertakwalah kepada Allah, dan pertahankan isterimu". [2]

Ada yang mengatakan, Allah telah memberitahukan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau akan menikahinya, dan beliau menyembunyikan pemberitahuan ini dari orang-orang. Kemudian Allah mencelanya atas perkara yang disembunyikannya, dengan firman-Nya:

"Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya". [Al-Ahzaab: 37]

Yakni, terhadap pemberitahuan Allah kepadamu tentang hal itu.

Ada yang mengatakan, tetapi yang disembunyikannya ialah bahwa jika Zaid menceraikan, maka beliau akan menikahinya.

Yang pasti, niat Zaid untuk menceraikan isterinya tidak menodai pernikahan dalam kelangsungannya. Dan ini adalah perkara yang kami tidak mengetahui adanya perselisihan di dalamnya.

Jika ada ketetapan dengan nash (teks al-Qur-an dan hadits, -ed.) dan ijma' bahwa niat untuk menceraikan isteri tidak berpengaruh dalam hal ini, maka ini sebagai jawaban atas pihak yang mengata-kan: "Jika seseorang berniat dengan hatinya untuk menceraikan, maka perceraian itu telah terjadi." Sebab, (dalam peristiwa tersebut) hati Zaid telah keluar darinya, sementara ia tetap menjadi isterinya hingga dia menyatakan cerai dengannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Allah memaafkan untuk umatku apa yang terbersit di dalam hatinya, selagi dia tidak mengucapkannya atau melakukan-nya." [3] Ini adalah madzhab jumhur. [4]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Jika seseorang menikahi wanita dengan tanpa syarat, hanya saja ia berniat menceraikannya setelah sebulan atau setelah hajatnya selesai di negeri tersebut, maka pernikahannya sah, menurut pendapat mayoritas ulama, kecuali al-Auza'i. Yang benar bahwa hal ini tidak mengapa, dan niatnya tidak menyebabkan (pernikahan itu menjadi) rusak."[5]

Asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Jika seseorang datang ke suatu negeri dan ingin menikahi seorang wanita, sementara niat keduanya ialah tidak ingin mempertahankannya kecuali sebatas ia bermukim di negeri tersebut…" hingga beliau berkata, "... maka pria ini memegang niatnya, bukan niat wanita ini, atau niat wanita ini, bukan niat pria ini, atau niat kedua-duanya sekaligus dan niat wali, hanya saja apabila keduanya melangsungkan akad pernikahan secara mutlak, tanpa mensyaratkan hal ini, maka nikahnya sah. Niat tidak merusak pernikahan sedikit pun, karena niat itu ucapan hati. Apa yang terbersit di dalam hati manusia dimaafkan. Adakalanya seseorang meniatkan sesuatu, tapi dia tidak melakukannya." [6]

Yang mulia Syaikh bin Baaz rahimahullah ditanya: "Saya mendengar fatwa Anda pada sebuah kaset tentang bolehnya (seseorang) menikah di negeri asing sedangkan dia berniat meninggalkannya setelah waktu tertentu, seperti ketika berakhirnya konfrensi atau pendelegasian. Lalu apa perbedaan antara pernikahan ini dengan nikah mut'ah?"

Beliau menjawab: "Ya, telah dikeluarkan fatwa dari al-Lajnah ad-Daa-imah dan saya sendiri sebagai ketuanya, tentang bolehnya menikah dengan niat menceraikannya, jika niat itu antara dirinya dengan Rabb-nya. Ketika dia menikah di negeri asing dengan niat bila telah menyelesaikan studinya, pekerjaannya dan sejenisnya, dia akan menceraikannya, hal ini tidak mengapa (dengan niat ini), menurut jumhur ulama. Niat ini antara dirinya dengan Allah, dan bukan syarat. Perbedaan antara pernikahan ini dengan mut'ah, bahwa dalam nikah mut'ah disyaratkan masa tertentu seperti sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, dan sejenisnya. Jika waktu tersebut telah habis, maka pernikahan tersebut batal, dan inilah nikah mut'ah yang bathil." [7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang seorang pengembara yang berkelana di berbagai negeri; di masing-masing kota dia singgah selama sebulan atau dua bulan, dan dia khawatir akan terjerumus dalam kemaksiatan; Apakah dia boleh menikah pada masa bermukimnya di suatu negeri ini lalu ketika mengembara lagi, dia menceraikannya dan memberikan haknya; ataukah tidak boleh? Apakah nikahnya sah ataukah tidak?

Beliau menjawab: "Ia boleh menikah, tetapi nikah secara mutlak yang tidak disyaratkan penentuan waktu di dalamnya di mana jika suka, dia tetap mempertahankannya dan jika mau, dia boleh menceraikannya. Seandainya dia berniat menceraikannya secara pasti ketika menyelesaikan perjalanannya, maka dimakruh-kan hal semacam ini. Dan tentang sahnya pernikahan, hal ini di-perselisihkan. Seandainya dia berniat bahwa tatkala dia akan pergi wanita ini mengagumkannya, maka dia bisa mempertahankannya dan jika tidak, maka dia menceraikannya, hal itu dibolehkan..." [8]

Pendapat lainnya:
Rasanya cukup objektif jika kita menyebutkan pendapat lainnya, yang tidak menyelisihi pendapat pertama tentang sahnya pernikahan ini tetapi mengajak untuk tidak menyebarkan pernikahan ini karena berbagai kerusakan yang bakal kembali kepadanya, yaitu menghancurkan rumah tangga yang akan dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah, menghancurkan keluarga-keluarga Islam, dan mencerai-beraikan anak-anak yang bakal dilahirkan dari wanita tersebut karena laki-laki ini. Ini bisa berarti pengkhianatan kepada keluarga isteri dan juga kepada isteri sendiri. Ini akan berdampak buruk terhadap isteri, anak-anak, dan keluarga yang akan kacau balau jika masalah ini dibuka lebar-lebar. Berikut ini wahai saudara-ku yang budiman, sebuah fatwa Syaikh Ibnu 'Utsaimin tentang perkara ini, di mana beliau menjelaskan perkara ini dengan ber-bagai aspeknya.

Syaikh Ibnu 'Utsaimin ditanya: "Ada seseorang yang hendak bepergian ke luar negeri karena diutus. Lalu dia ingin menjaga kemaluannya (dari perbuatan haram) dengan menikah di sana untuk waktu tertentu, kemudian setelah itu dia menceraikan sang isteri tanpa mengabarkan kepadanya (sebelumnya) bahwa dirinya akan menceraikannya. Apa hukum perbuatannya ini?"

Syaikh menjawab: Pernikahan dengan niat menceraikan ini tidak lepas dari dua hal:

Pertama, disyaratkan dalam akad bahwa dia akan menceraikannya untuk masa sebulan, setahun atau hingga studinya berakhir; ini adalah nikah mut'ah yang diharamkan.

Kedua, meniatkan hal itu dengan tanpa mensyaratkannya. Yang masyhur dari madzhab Hanabilah bahwa ini diharamkan dan akadnya rusak. Karena menurut mereka, sesuatu yang diniatkan itu seperti sesuatu yang disyaratkan; berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Amal itu tergantung dengan niatnya, dan setiap orang hanya diberi balasan sesuai apa yang diniatkannya." [9]

Karena sekiranya seorang laki-laki menikahi isteri seseorang yang telah ditalak tiga dengan niat agar suaminya terdahulu dapat kembali kepadanya kemudian menceraikannya, maka nikahnya batal, meskipun dengan tanpa syarat. Karena yang diniatkan itu seperti yang disyaratkan. Jika niat tahlil (menikahi wanita agar suaminya bisa kembali kepadanya setelah menceraikannya) merusak akad, maka demikian pula niat "mut'ah" merusak akad ini. Ini adalah pendapat (kalangan) al-Hanabilah.

Pendapat kedua yang dipegang para ulama dalam masalah ini bahwa menikahi wanita dengan niat akan menceraikannya -jika meninggalkan negeri tersebut- adalah sah. Seperti orang-orang asing yang pergi untuk studi dan sejenisnya. Alasan mereka, karena ini tidak disyaratkan. Perbedaan antara pernikahan ini dengan nikah mut'ah bahwa nikah mut'ah bila masanya telah habis, maka otomatis terjadi perceraian, baik suami suka atau tidak, berbeda dengan pernikahan ini. Sebab, bisa jadi dia menyukai isterinya dan tetap menjadikannya sebagai isterinya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Menurut saya, ini benar bukan mut'ah, karena tidak disebut sebagai nikah mut'ah. Tetapi diharamkan dari segi pengkhianatan kepada isteri dan keluarganya, sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang pengkhianatan dan penipuan. Sebab, jika isteri mengetahui bahwa orang ini tidak ingin menikahinya kecuali untuk masa tersebut, niscaya ia tidak mau menikah dengannya, demikian juga keluarganya. Demikian halnya dia tidak ridha seseorang menikahi puterinya dengan niat akan menceraikannya, jika hajatnya pada isterinya telah terlampiaskan. Lantas, bagaimana mungkin dia ridha untuk dirinya memperlakukan selainnya dengan semacam apa yang dia tidak merelakannya untuk dirinya sendiri. Hal ini menyelisihi keimanan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga dia mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia men-cintai untuk dirinya sendiri." [10]

Karena saya mendengar bahwa sebagian orang menjadikan pendapat ini sebagai jalan menuju perbuatan yang tidak dilakukan seorang pun. Yaitu, mereka pergi ke berbagai negeri hanya untuk menikah saja. Mereka pergi ke negeri-negeri itu untuk menikah, kemudian tinggal sekian waktu bersama isteri yang pernikahan dengannya dia niatkan sementara waktu, kemudian kembali ke negerinya semula. Ini pun mempunyai bahaya besar dalam masalah ini. Oleh karenanya, menutup pintu ini lebih utama karena di dalamnya mengandung pengkhianatan dan penipuan serta perbuatan ini membuka pintu semacam ini. Sebab, manusia itu bodoh dan kebanyakan manusia suka memperturutkan hawa nafsu berupa melanggar larangan-larangan Allah.[11]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Footnotes
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 6980) kitab al-Hiyal, at-Tirmidzi (no. 1216) kitab al-Buyuu', Ibnu Majah (no. 2251) kitab at-Tijaaraat, ad-Darimi (no. 625) kitab al-Muqaddimah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 7420) kitab at-Tauhiid, Muslim (no. 177) kitab al-Iimaan, at-Tirmidzi (no. 3212) kitab Tafsiirul Qur-aan, Ahmad (no. 12102, 25510, 25763).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 2528) kitab al-'Itq (no. 5269), kitab ath-Thalaaq (no. 6664), kitab al-Aimaan wan Nudzuur, Muslim (no. 127) kitab al-Aimaan, at-Tirmidzi (no. 1183) kitab ath-Thalaaq wal Li'aan, an-Nasa-i (no. 3433) kitab ath-Thalaaq, Abu Dawud (no. 2209) kitab ath-Thalaaq, Ahmad (no. 8864).
[4]. Majmuu'al-Fataawaa (XXXII/147-150).
[5]. Al-Mughni bisy Syarh al-Kabiir (VII/573).
[6]. Al-Umm (V/118).
[7]. Fataawaa Islaamiyyah, Syaikh bin Baaz, Ibnu 'Utsaimin, Ibnu Jibrin (vol. iii), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid.
[8]. Majmuu'al-Fataawaa (XXXII/106-107).
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 1) kitab Bad-ul Wahyi.
[10]. HR. Al-Bukhari (no. 13) kitab al-Iimaan, Muslim (no. 45) kitab al-Iimaan, at-Tirmidzi (no. 2515) kitab Shifatul Qiyaamah war Raqaa-iq wad Dur'i, an-Nasa-i (no. 5016) kitab al-Iimaan wa Syaraa-i'uhu, Ibnu Majah (no. 66) kitab al-Muqaddimah, Ahmad (no. 11591), ad-Darimi (no. 2740) kitab ar-Raqaa-iq.
[11]. Fataawaa Islaamiyyah (III/236-237), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid.
READ MORE - Permasalahan : Orang Yang Menikah Dengan Niat Akan Menceraikan

Boleh kan Nikah sama orang Kafir

· 0 komentar

NIKAH DENGAN ORANG KAFIR

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Pernikahan dalam Islam bertujuan untuk membangun keluarga dalam naungan cinta. Keluarga adalah bagian kecil dari masyarakat yang harus disiapkan untuk membentuk masyarakat yang baik. Karena itulah Islam memberikan perhatian dalam mewujudkan faktor pendukung terciptanya hal ini. Bentuk perhatian ini dapat terlihat dari hukum syariat yang ditetapkan dalam membangun keluarga, nasehat, anjuran serta bimbingan dalam mewujudkan kehidupan yang baik.

Percampuran kaum muslimin dengan kafir dewasa ini adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan, karena kepentingan di antara mereka sangat berkait akibat adanya pergaulan bebas. Tentunya hal ini dapat mengakibatkan munculnya hubungan yang terus menerus dan saling mempengaruhi di antara mereka.

Berkait dengan intraksi antar umat beragama, Islam memiliki aturan yang sempurna. Aturan ini dapat menjaga keselamatan aqidah dan kepribadian umatnya, secara umum ataupun individu. Peraturan ini harus diterapkan oleh kaum muslimin demi menyelamatkan diri dan lingkungan dari kerusakan dan kesengsaraan.

Penerapan aturan ini menjadi semakin penting seiring dengan sedikitnya kaum muslimin yang mengerti syari’at serta gencarnya propaganda pluralisme yang mengusung pemikiran bahwa semua agama itu sama. Jika tidak diterapkan, lambat laun aqidah al-Walâ’(setia kepada kaum muslimin) wal Barâ (membenci orang-orangkafir) yang merupakan salah satu pokok aqidah Islam, akan terkikis habis.

Di antara fenomena yang menunjukkan aqidah al-Walâ’ dan al Barâ ini mulai luntur dari hati sebagian kaum muslimin dan perlu mendapatkan perhatian yaitu berlangsungnya pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan non muslim (baca kafir) di masyarakat kita. Peristiwa tragis ini terjadi, mungkin karena ketidak tahuan si pelaku terhadap ajaran Islam tentang masalah ini atau ada yang sengaja mengaburkan ajaran Islam demi memuluskan penyebaran pemikiran pluralismenya. Oleh karena itu, aturan Islam tentang masalah ini perlu dijelaskan.

SIAPAKAH ORANG KAFIR ITU?
Orang kafir dalam syariat Islam adalah sebutan untuk umat non muslim yang terdiri dari kaum musyrikin dan ahli kitab, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata" [al-Bayyinah/ 98:1]

Oleh karena itu, saat membicarakan hukum pernikahan dengan orang kafir berarti mencakup hukum pernikahan dengan kaum musyrikin dan pernikahan dengan ahli kitab.

MENIKAHI WANITA MUSYRIK
Seorang muslim dilarang menikahi wanita musyrik baik merdeka maupun budak. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Dan sungguh wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu" [al-Baqarah/2:221][1]

Hal ini juga ditegaskan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir" [al-Mumtanah/ 60:10]

Sehingga setelah Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat ini Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu menceraikan dua istri beliau Radhiyallahu 'anhu yang dinikahinya ketika masih musyrik.[2]

Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa wanita dan sembelihan semua orang kafir selain ahli kitab seperti orang yang menyembah patung, batu, pohon dan hewan yang mereka anggap baik, haram (bagi kaum muslimin).[3]

MENIKAHKAHKAN WANITA MUSLIMAH DENGAN ORANG KAFIR
Kaum muslimin dilarang menikahkan wanita muslimah dengan semua orang kafir baik orang Yahudi, Nashrani, penyembah berhala (paganis) atau lainnya. Karena mereka tidak diperbolehkan menikahi wanita muslimah walaupun muslimah tersebut seorang fasiq. Allah Azza wa Jalla berfirman :

"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".[al-Baqarah/2:221]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menyatakan : Maknanya adalah janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min-red) hingga mereka beriman.[4]

Hal ini juga dipertegas dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka". [ al-Mumtahanah/60:10]

Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi rahimahullah menyatakan : “Ayat ini berisi pengharaman kaum mukminat bagi orang-orang kafir.” [5]

Dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang untuk mempertahankan status pernikahan kaum mukminat dengan orang kafir. Bila status pernikahan yang sudah terjadi saja harus diputus, maka tentu lebih tidak boleh lagi bila memulai pernikahan baru.

Sedangkan secara logika tentang pelarangan ini, syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn menyatakan : “Adapun dalil nazhari (dalil akal), karena tidak mungkin seorang muslimah itu akan menjadi baik di bawah kekuasaan suami yang kafir padahal suami adalah sayyid (pemimpin), sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya menjumpai suami (sayyid) wanita itu di depan pintu". [Yusuf/12:25]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

اتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عَلَيْكُمْ

"Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena mereka adalah tawanan kalian".[6]

MENIKAHI WANITA AHLI KITAB
Allah Subhanhu wa Ta'ala telah melarang seorang muslim menikahi wanita musyrik secara umum dalam surat al-Baqarah ayat 221 di atas, namun Allah Azza wa Jalla mengecualikan larangan menikahi wanita ahli kitab dalam firman-Nya:

"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikanAl-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan kaum mukminat dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik". [al-Mâidah/5:5]

Imam Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah menyatakan: “Pendapat yang paling rajih tentang tafsir ayat (221 dari al-Baqarah –pen-) adalah pendapat Qatâdah rahimahullah yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:

ولأ تنكحوا المشر كت حتى يؤ من

"(Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman)", adalah wanita musyrik selain ahli kitab. Secara zhahir ayat ini bersifat umum. namun kandungannya bersifat khusus, tidak ada yang dimansukh (dihapus) sama sekali. Dan wanita ahli kitab tidak termasuk didalam ayat di atas, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menghalalkan bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari ahli kitab dengan firman-Nya:

وا لمحصنت من الذ ين أو توا الكتب من قبلكم

"(dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu,)" sebagaimana Allah Azza wa Jalla menghalalkan wanita-wanita mukminat yang menjaga kehormatan [7]

Dengan dasar ayat ini para ulama membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab yang merdeka. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan : “Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang kehalalan wanita merdeka ahli kitab. Di antara yang diriwayatkan (menikahi mereka) adalah Umar bin al-Khathab Radhiyallahu 'anhu, Utsmân Radhiyallahu 'anhu [8], Thalhah Radhiyallahu anhu, Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu [9], Salmân Radhiyallahu 'anhu, Jâbir Radhiyallahu 'anhu [10] dan yang lainnya.

Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada riwayat shahih dari seorangpun ulama generasi pertama yang mengharamkan wanita ahli kitab yang merdeka.[11]

MENGAPA WANITA MUSLIMAH DILARANG MENIKAH DENGAN ORANG KAFIR SEDANGKAN LELAKI MUSLIM DIPERBOLEHKAN MENIKAHI WANITA KAFIR AHLI KITAB?

Pertanyaan ini dijawab dari dua sisi :
1. Islam itu tinggi dan tidak boleh direndahkan. Kepemimpinan dalam rumah tangga ada pada suami karena statusnya sebagai seorang lelaki walaupun setara dalam akad. Sebab kesetaraan tidak dapat menghilangkan perbedaan yang ada, sebagaimana dalam perbudakan. Apabila seorang lelaki memiliki budak wanita maka ia boleh menggaulinya dengan sebab perbudakan tersebut. Sedangkan wanita apabila memiliki budak lelaki maka tidak boleh berhubungan intim dengannya. Ditambah juga karena kepemimpinan lelaki atas wanita dan anak-anaknya padahal ia kafir tentunya agama sang wanita dan anak-anaknya tidak selamat dari pengaruhnya.

2. Islam itu sempurna sementara yang lain tidak. Maka dibangun di atas hal ini perkara sosial yang memiliki hubungan erat dalam tatanan rumah tangga. Seorang muslim apabila menikahi wanita ahli kitab maka ia beriman kepada kitab suci dan rasul wanita tersebut. Sehingga sang suami akan tinggal bersama istrinya ini dengan didasari penghormatan kepada agama sang istri secara garis besar. Lalu terjadilah di sana kesempatan untuk saling memahami dan bisa jadi mengantar wanita tersebut masuk Islam dengan konsekwensi kandungan kitab sucinya. Adapun bila seorang kafir ahli kitab menikahi wanita muslimah, ia tetap tidak beriman kepada agama wanita tersebut. Sehingga ia tidak menghormati prinsip dan agama istrinya. Dan tidak ada kesempartan untuk saling memahami pada perkara yang ia sendiri tidak mengimaninya. Karena itulah pernikahan ini dilarang.

SIAPAKAH WANITA AHLI KITAB YANG DIMAKSUD?
Mayoritas ulama menafsirkan kata al-Muhshanât dalam ayat ini dengan wanita yang menjaga kehormatannya dan dengan dasar ini sebagian ulama membolehkan pernikahan wanita ahli kitab yang menjaga kehormatannya baik merdeka ataupun budak.

Sedangkan yang dimaksud dengan ahli kitab di sini adalah orang Yahudi dan Nashrani (Kristen).

Namun yang perlu diingat di sini seorang muslim yang ingin menikahi wanita ahli kitab karena keadaan tertentu haruslah memiliki aqidah yang kokoh, mengerti hukum-hukum syari’at dan komitmen mengamalkan dan mematuhi hokum dan syiar Islam. Perlu diingat bahwa menikahi wanita ahli kitab mengandung banyak resiko terhadap aqidah sang lelaki ataupun nantinya berpengaruh pada agama anak keturunannya. Kenyataannya sudah jelas dan banyak terjadi, berapa banyak keluarga yang hancur agamanya dengan sebab ibunya seorang ahli kitab. Oleh karena itu sebaiknya ingat kembali kepada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

"Wanita dinikahi karena empat perkara: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka ambillah yang memiliki agama (baik), kamu akan beruntung" [HR al-Bukhari].

Nikahilah wanita muslimah yang taat beragama! Itu lebih baik bagi anda.
Wabilahi taufiq.

Referensi:
1. Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ karya syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn
2. Al-Mughni karya Ibnu Qudâmah
3. Jâmi’ ahkâm an-Nisâ` karya syaikh Musthafa al-’Adawi
4. Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri karya Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Lihat Syarhu al-Mumti’ 12/146
[2]. Lihat kisahnya diriwayatkan dalam Shahîh al-Bukhâri –lihat Fath al-Bâri 5/322
[3]. Lihat al-Mughnî 9/548
[4]. Syarhu al-Mumti’ 12/145
[5]. Adhwâ’ al-Bayân 8/163
[6]. Syarhu al-Mumti’ 12/145. Hadits yang beliau sampaikan ini ada dalam sunan at-Tirmidzi dengan lafazh :
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
Ketahuilah berbuat baiklah pada wanita karena mereka adalah tawanan disisi kalian. (HR at-Tirmidzi no. 1163 dan beliau berkata : Hadits hasan shohih. Juga diriwayatkan ibnu Majah no. 1851)
[7]. Lihat jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/118
[8]. Diriwayatkan al-Baihaqi dengan sanad dha’îf sebagaimana disampaikan syaikh Musthafa al-‘Adawi dalam Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/123
[9]. Diriwayatkan Sa’id bin Manshûr dan dinilai shahih oleh syaikh Musthafa al-‘Adawi dalam Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/122
[10]. Diriwayatkan imam asy-Syâfi’i dalam al-Umm dan dinyatakan syaikh Musthafa al-‘Adawi : Para perawinya tsiqah. (lihat Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/122
[11]. Al-Mughni 9/545
[12]. Diambil dari Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/120 dengan sedikit perubahan
READ MORE - Boleh kan Nikah sama orang Kafir

Hijrah Masa Kini

Minggu, 25 April 2010 · 1 komentar

Hijrah adalah momentum penting dalam lintasan sejarah perjuangan Islam dan kaum Muslimin. Hijrah tidak hanya menjadi bukti kekuatan iman para pemeluk Islam ketika itu, melainkan menjadi kejadian paling menentukan demi tegaknya Islam dan keberlanjutan hidup kaum Muslimin ketika itu. Kini, ketika kaum Muslimin kembali pada kondisi terlemah dari seluruh aspek kehidupannya, relevankah syariat hijrah ditegakkan kembali ?Bagaimana hijrah masa kini dilakukan kembali oleh kaum Muslimin ?

Kata Hijrah berasal dari istilah hajara, yang berarti berpindah dari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan yang lain. Namun, juga banyak lagi pengertian dari istilah hijrah, tetapi kita akan membicarakandalam empat hal.

1.Berpindah, atau tidak tinggal di satu tempat

Jika seseorang terkesan dengan apa yang dia dengar atau pelajari (dari ilmu) tetapi tidak melakukannya, dia tidak berhijrah pada yang baru saja dia pelajari. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu." Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu." (QS Al Ma'idah, 5: 68)

Yahudi dan Nasrani telah gagal untuk berhijrah dari situasi kufur mereka ke Tauhid, dan akibatnya Allah SWT menyatakan mereka tidak mempunyai apa-apa sampai mereka menerapkan dan melakukan apa yang telah Dia turunkan.

Sama halnya, Muslim juga tidak mempunyai apapun kecuali mereka menerapkan Al-Qur'an (secara politik) dan Islam menjadi jalan hidup mereka.

Ketika Islam dimulai di Mekkah yang sampai akhirnya menyebar ke Madinah pada saat iteraksi (dakwah) Nabi SAW dan Shahabat-shahabatnya RA. (Islam adalah sebuah Dien yang tidak memaksa untuk tinggal di satu tempat, dan juga Dien perbuatan).

Allah menetapkan bagi penduduk Mekkah untuk menolak dakwah dan memerangi RasulNya SAW. Namun, setelah serangan ini, hijrah telah ditentukan dan mereka selanjutnya diwajibkan untuk berpindah.

Masalah yang ada pada Ummat Islam hari ini adalah mereka tidak melakukan apapun untuk merubah kondisi mereka sekarang, walaupun mereka mempelajari Dien setiap hari. Mereka mengetahui apa yang halal dan haram tetapi mereka tidak ingin bergerak dan melakukan atas apa yang mereka pelajari.

Maka salah satu pengertian hijrah adalah berpindah atau bergerak; Muslim selalu berubah (untuk lebih baik) dan bergerak, juga tidak stagnan.

2.Meninggalkan dosa atau haram

Pengerian ini diambil dari sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Abu Daud. Rasulullah SAW bersabda:

"Muslim adalah seseorang yang menghindari menyakiti Muslim dengan lidah dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan semua apa yang Allah telah larang." (Shahih Al Bukhari, Kitabul Iman, Bab 4 Hadits No 10)

Maka jika seseorang meninggalkan apa yang Allah telah larang, dia adalah seorang Muhajir. Dan Hijrah masih terbuka (walaupun Rasulullah SAW bersabda setelah menaklukan Mekkah bagi orang-orang untuk tinggal dan meninggalkan apa yang Allah SWT telah larang.

3.Beribadah kepada Allah pada saat sulit dan fitan

Rasulullah SAW bersabda:

"Beribadah pada saat masa harj adalah seperti hijrah kepadaku." (Shahih Muslim, Hadits No 2948)

Pada saat fitan seperti saat ini, ketika orang-orang bercampur baur; wanita tidak menutupi auratnya; kejahatan disiarkan di internet, televisi dan Radio; musik, alkohol dan hukum kufur yang tersebar luas; orang baik dikatakan jahat, dan orang-orang yang rusak (seperti penyanyi, aktor dan selebriti) dipuji dan membuat aturan model: beribadah kepada Allah pada saat ini seperti hijrah kepada Nabi Muhammad SAW.

Pada masa ketika begitu sedikit orang yang jujur; hati orang-orang beriman akan sakit karena dia akan melihat kejahatan dan tidak bisa merubahnya; Muslim yang berbicara akan dibunuh atau ditangkap, dan kesucian mereka yang tetap diam akan terhina; orang-orang akan menangkap yang membuat website, atau mereka akan ditangkap karena membawa uang di kantong mereka atau memelihara jenggot; Muslim yang terpercaya dilabeli sebagai fanatik dan teroris; dan Muslim yang berangkat dari satu negeri ke negeri yang lain dicurigai sebagai teroris: tidak diragukan lagi, ini adalah masa fitnah besar.

4.Bergerak atau menjauhi orang tertentu

Aturan yang mendasar berkaitan dengan Kufar adalah sebuah kewajiban untuk menjauh dari mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah.

Allah SWT memerintahkan kita untuk membenci mereka dan menjauh dari mereka, tetapi pada saat yang sama memelihara hubungan dengan kita untuk transaksi dan interaksi dengan mereka (mengajak mereka pada Islam). Allah SWT berfirman:

"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." (QS Al Muzammil, 73: 10)

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya[1310] dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku." (QS Az Zumar, 39, 17)

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[826] itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya[826]. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." (QS An Nahl, 16: 36)

Ayat-ayat ini mengkonfirmasi aturan yang sebenarnya berkaitan dengan Kuffar dan Tawaghit; itulah untuk mengatakan, mereka menjadi mengelak. Ini lebih jauh di jelaskan dengan sikap Nabi Ibrahim AS kepada kaumnya dan bapaknya (yang telah kafir). Allah SWT berfirman:

"Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah." (QS Az Zukruf, 43: 26)

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja..." (QS Al Mumtahanah, 60: 4)

"Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku." (QS Maryam, 19: 48)

Diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud, bersumber dari Samurah bin Jundub RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Siapa saja yang berkumpul dengan seorang Musyrik dan bertempat tinggal dengannya, maka dia seperti mereka (musyrik)." (Sunan Abu Daud, kitabul jihad no. 2787)

Setelah seseorang meninggalkan kufur dan syirik kemudian memeluk Islam, mereka harus menghindari orang-orang kafir (dan apa yang mereka sembah selain Allah) dan hidup diantara Muslim, atau tidak ada dari perbuatan mereka yang akan diterima oleh Allah. Satu-satunya pengecualian untuk aturan ini adalah istri seseorang dari Ahli Kitab atau orang tua seseorang yang Kafir - memberikan mereka tidak menunjukkan kebencian kepada Islam.

Diriwayatkan dalam Sunan An Nasaa'i bahwa Bahz bin Hakim bin Mu'awiyah RA berkata bahwa kakeknya (Mu'awiyah) meriwayatkan Nabi bersabda:

"Allah tidak menerima semua perbuatan dari seorang Musyrik setelah dia memeluk Islam kecuali dia menjauhi Musyrikin."( Fathul Bari, Kitabul Jihad)

Salah satu bentuk hijrah adalah berpindah dari daerah kufur (darul kufur) ke daerah Islam (darul Islam). Namun, masalahnya belum ada Darul Islam saat ini bagi semua Muslim yang ingin berhijrah. Saat ini kita mempunyai darul kufur Asiyyah (negeri yang telah ditaklukan oleh Muslim), seperti Eropa; Darul Riddah (Darul murtad, dimana Muslim tidak menerapkan Syari'ah); dan Darul Kufur Taari'ah (negeri Muslim dalam pendudukan), seperti Israel, Spanyol, Iraq dan Afghanistan. Maka dimana kita bisa berhijrah bila semua negeri sama?

Namun, jika sebuah negara Islam diterapkan, Allah akan menghukum mereka yang tidak meninggalkan kuffar dan hijrah kecuali mereka mempunyai alasan yang syar'i. Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri[342], (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?." Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?." Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali" (QS An Nisaa, 4: 97)

Sebagaimana mereka tidak bisa berhijrah ke Darul Islam karena itu tidak ada, mereka akan melakukan hijrah ke tempat lain dimana mereka secara umum bisa memenuhi kewajiban mereka. Jika seseorang tidak bisa menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran, mereka harus berhijrah. Jika ketentuan hanya membolehkan seseorang untuk makan, minum dan berjalan, tetapi tidak memberikan dakwah, menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka mereka harus hijrah ke sebuah tempat dimana mereka bisa memenuhi kewajiban mereka - ini adalah apa yang Shahabat lakukan ketika Hijrah ke Abyssinia.

Buah dari Hijrah (ke Abyssinia) adalah raja kedua memeluk Islam. Telah diriwayatkan oleh Ummu Salamah RAH bahwa ketika Mekkah menjadi begitu sulit bagi Shahabat, Rasulullah SAW menyarankan bagi mereka untuk pergi ke negeri Habashah (Abyssinia) dimana disana ada seorang raja yang tidak zalim. Nabih SAW memerintahkan mereka untuk tinggal disana "sampai Allah memberikan jalan keluar untukmu". Pada waktu itu, Raja (tidak seperti penguasa saat ini) tidak melarang mereka untuk berdakwah dan mencegah kemungkaran. Shahabat yang dijelaskan suatu hari bahwa mereka memerintahkan untuk beribadah kepada Allah dan menyempaikan kebenaran dimana saja mereka berada.

Namun, hijrah bukan berarti memerlukan berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan hijrah dari satu kota ke kota lain, atau satu desa ke desa lain - dengan tujuan untuk menjauhi orang-orang yang berbuat dosa.

Karena bagi mereka yang lemah, wanita, anak-anak atau mereka yang tidak mempunyai uang atau dokumen perjalanan (seperti passport), mereka harus tinggal sebisa mereka untuk berdakwah dan menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, walaupun dengan cara do'a.

Allah SWT berfirman:

"kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (QS An Nisaa', 4: 98-99)

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari bahwa Ibnu Abbas RA berkata:

"Aku dan ibuku adalah dari Mustad'afin (orang yang lemah). Aku berada diantara anak-anak dan ibuku berada diantara nisaa' (wanita)."

Di sisi lain, seseorang mungkin menemukannya perlu untuk hidup diantara Kuffar dengan tujuan untuk mengajak mereka pada Islam. Ini adalah situasi yang ditemukan Nabi SAW di Mekkah. Beliau hidup diantara mereka tetapi berinteraksi dan mengajak mereka pada Islam. Pada saat yang sama, beliau akan melakukan hijrah dari mereka bilamana mereka mengejek atau menghina Kitab Allah. Allah SWT berfirman:

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam." (QS An Nisaa', 4: 140)

Maka ketika Musyrikun mengabaikan atau mengejek ayat Allah, Nabi SAW akan menjauhi mereka.

Sama halnya dengan Ashabul Kahfi menjauhi kaum mereka dan melarikan diri ke gua ketika mereka diminta untuk bergabung dan ambil bagian dalam perayaan pagan mereka.

Diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad bahwa Khabbaab Bin Al Arat RA berkata:

"Aku dulu hidup di Mekkah dan bekerja untuk Al Aas bin Waa'il. Suatu hari, ketika aku mendatanginya dan mengambil upahku, dia berkata kepadaku, 'Aku tidak akan memberikan upahmu kecuali jika kamu mengingkari Muhammad.' Aku berkata, 'Demi Allah, aku tidak akn mengingkari Muhammad SAW sampai aku mati dan bahkan bangkit kembali. Dan jika aku bangkit kembali, aku akan mempunyai (cukup) kekayaan dan anak."

Selanjutnya, seorang beriman mungkin menemukan dirinya pada sebuah situasi dimana Kuffar menginginkanya untuk bergabung, meninggalkan Diennya, mencela Syari'ah atau meninggalkan negeri mereka, dan jika dia tidak melakukan yang demikian mereka tidak akan bekerja padanya, atau mereka akan mencabut kepentingannya (kesejahteraan). Pada situasi seperti ini, dia harus meninggalkan dan tidak berkompromi atas Diennya.

Memboikot Muslim

Hukum asal, hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah bukan persaudaraan; kami tidak bercampur dengan mereka, menikah dari mereka atau berdagang dengan mereka - kecuali ada kebolehan. Namun, ini berlawanan dengan Muslim, dimana hukum asalnya adalah bersaudara. Tetapi dari waktu ke waktu, ada kemungkinan menjadi boleh untuk menjauhi seorang Muslim, karena ada dua alasan di bawah ini:

1.Karena urusan dunia

2.Karena Dien

Berkaitan dengan urusan dunia, seseorang bisa memboikot Muslim jika dia mempunyai sebuah perselisihan (tentang makanan, pakaian atau uang), tetapi boikot ini tidak bisa lebih dari tiga hari. Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak mungkin bagi seorang Muslim untuk menjauhi saudaranya lebih dari 3 malam, berpaling satu sama lain dimana saja mereka bertemu. Yang lebih baik adalah salah satu yang berinisiatif untuk Salaam." (Shahih Muslim Hadits no 2560)

Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Pintu surga terbuka setiap hari senin dan kamis. Allah akan mengampuni setiap hamba yang tidak melakukan syirik, kecuali seseorang setelah berselisih dengan saudaranya, menjaga dendam. Itu akan menjadi perkataan baginya (tiga kali): 'lihatlah kedua orang itu, (jangan buka pintu jannah) sampai mereka damai.'" (Shahih muslim Hadits No. 2565)

Berikatan denga dien, sebagai seorang Muslim bisa diboikot lebih dari 3 hari, atau mungkin kurang, tergantung kondisinya.

Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari bahwa Rasulullah SAW memboikot 3 orang (termasuk Ka'ab Bin Malik) untuk lima puluh malam karena mereka tidak merespon seruan jihad untuk perang Tabuk. Rasulullah SAW juga menginstruksikan Shahabatnya untuk melakukan hal yang sama dan tidak ada seorangpun yang berbicara dengan mereka selama periode ini, termasuk istri-istri mereka. Ini berdasarkan wahyu (Allah mengatakan kepada RasulNya untuk memboikot mereka).

Umar Bin Al Khattab juga meminta Muslim untuk memboikot orang yang disebut Sabigh At Tamimi, yang secara rutin salah menanggapi ayat-ayat mutasyabihat dari Kitab Allah. Tidak seorangpun berbicara kepadanya selama hampir satu tahun, sampai dia berubah dan bertobat.

Maka ada insiden di masa lalu ketika Muslim diboikot lebih dari 3 hari, sebagai sebuah bentuk hukuman; tetapi ini hanya terjadi pada individu yang melakukan dosa besar atau bid'ah, atau mempunyai tanda-tanda nifaq.

Jika seseorang melakukan dosa besar dan kemudian bertobat, kita tidak bisa menolak untuk memaafkannya, dengan kata lain kita akan menjatuhkan diri kita ke dalam kemunafikan.

Terakhir, tujuan utama hijrah adalah meninggalkan tempat ketidaktaatan menuju tempat ketaatan, dimana seseorang bisa berlaku atau menjalankan diennya.

Wallahu'alam bis showab!

Source : almuhajirun.net
READ MORE - Hijrah Masa Kini

Hadirilah Deklarasi Majelis Mujahidin LPW Jabodetabek, Tabligh Akbar & Seminar

Jumat, 12 Februari 2010 · 0 komentar




HADIRILAH…!
DEKLARASI MAJELIS MUJAHIDIN LPW JABODETABEK, TABLIGH AKBAR DAN SEMINAR

TEMA SEMINAR:

“KOREKSI & SOLUSI SYARIAT ISLAM MEMBANGUN AKHLAK BERNEGARA”

WAKTU:

* DEKLARASI: 09.00 – 10.00 WIB
* TABLIGH AKBAR: 10.10 – 11.00 WIB
* SEMINAR: 11.10 – 14.45 WIB

TEMPAT:

GOR BEKASI, JLN. A. YANI, BEKASI BARAT.

PEMBICARA TABLIGH AKBAR:

1. Ust. Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman (Wakil Amir Majelis Mujahidin)
2. Ust. Sulaiman Zakhaweruz (Pembina Majelis Ta’lim Al Itqon)

PEMBICARA SEMINAR:

1. Ust. Drs. Muhammad Thalib (Amir Majelis Mujahidin)
2. Prof. Dr. Jawahir Tantowi (Kepala CLDS & Dosen UII Jogjakarta)
3. DR. Ali Mochtar Ngabalin (Kepala BKPRMI, mantan anggota DPR RI)
READ MORE - Hadirilah Deklarasi Majelis Mujahidin LPW Jabodetabek, Tabligh Akbar & Seminar

Kajian Islam Sunnah

Rodia Rodja Online

Server-1
Server-2
Radio Rodja Channels jika mau dengar ini anda harus ada

Get the Flash Player Plugin For Windows Click logo to download

Situs Ar-Rahmah.com Situs Jihad


Sebuah Gerakan Kebangkitan Islam


Hadist


Do'a

Photobucket

"Wahai Dzat yang Membolak-balikkan Hati, Tetapkan Hatiku Dalam Agama-Mu"

Sunnah yang ditinggalkan

Mutiara Hadits dan Hikmah

Hadits Terasing

Hadits Larangan Bid'ah

Mutiara Hikmah